BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling penting dalam
berinteraksi dengan siapapun di dunia ini, banyak sekali bahasa yang tercipta,
semua itu untuk mempermudah dalam berkomunikasi dengan yang lainnya. Bahasa
juga merupakan alat komunikasi yang utama, kreatif, dan cepat bagi manusia
untuk menyampaikan ide, pikiran dan perasaannya. Bahasa tidak mungkin
terpisahkan dari kehidupan manusia, karena manusialah yang menggunakan bahasa
itu sendiri untuk berinteraksi.
Bahasa
Arab memiliki keistimewaan dengan bahasa lainnya, karena nilai sastra yang
bermutu tinggi bagi mereka yang mendalaminya serta bahasa Arab juga ditakdirkan
sebagai bahasa Al-Qur’an yang mengkomunikasikan kalam Allah. Karena di dalamnya
terdapat uslub bahasa yang mengagumkan bagi manusia dan tidak ada seorangpun
yang mampu menandinginya.
Bahasa apapun di dunia memliki beberapa unsure
bahasa yang satu dengan lainnya tidak boleh dipisahkan ketika mempelajari
bahasa dan mengajarkan bahasa termasuk bahasa Arab. Bahasa Arab
mempunyai tiga unsur, tiga unsur tersebut meliputi bunyi, kosakata, dan tata
bahasa. Ketiga unsur tersebut sangat mendasar untuk dikuasai ketika belajar
bahasa Arab, ketika tiga unsur tersebut dapat dikuasai dengan baik maka akan
baik pula pada penguasaan keterampilan bahasanya. Akan tetapi pada kenyataanya,
banyak sekali pebelajar bahasa Arab yang kesulitan menguasai ketiga unsur
tersebut, karena bahasa Arab itu beda dari bahasa-bahasa lain. Pada unsur bunyi
saja ada banyak macam bentuk bunyi kata yang mana dalam bahasa lain tidak
memiliki sebanyak bentuk bunyi dalam bahasa Arab. Begitu juga pada kedua unsur
lainnya, selain bahasa Arab tidak kaya akan kosakata dan juga tata bahasa yang
sedemikian rumit pada bahasa Arab.
Hal
ini kemudian menjadi problem dalam pendidikan bahasa Arab, khususnya pada
pembelajaran bahasa Arab, baik itu di sekolah formal maupun lembaga non formal
dan lembaga kursus lainnya. Karena bahasa Arab ini sebagai bahasa kedua oleh
orang Indonesia, maka memang sudah wajar ketika problem ini masih sangat
kompleks ketika belajar bahasa Arab.
Dengan ini penulis akan memberikan sedikit
pemaparan mengenai problematika unsur bunyi dan qawaid sharfiyah pada pendidikan bahasa arab guna untuk mengetahui problem apa saja yang terjadi pada pembelajaran bahasa Arab yang sebenarnya. Dan setelah
diketahui problematika apa saja yang terjadi, maka selanjutnya bisa dicarikan
solusi yang tepat untuk mengatasi problematika-problematika yang terjadi.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang muncul sebagai berikut:
1.
Apa problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab ?
2.
Apa problematika qawaid sharfaiyah
bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab ?
1.3
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah
untuk mengetahui:
1.
Problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
2.
Problematika qawaid sharfaiyah bahasa Arab dalam pendidikan bahasa
Arab.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
Menurut Syakur
(2010: 69-70) Permasalahan linguistik merupakan kesulitan yang dihadapi siswa
ketika mempelajari unsur-unsur bahasa tujuan (kedua). Kesulitan itu muncul
karena apa yangterdapat pada bahasa kedua agak berbeda dengan
apa yang ada pada bahasa pertamanya, baik pada tataran bunyi,
kata, struktur, arti, dan tulisan.
Problematika linguistik adalah kesulitan-kesulitan
yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran yang diakibatkan oleh
karakteristik bahasa Arab itu sendiri sebagai bahasa Asing bagi anak-anak
Indonesia. Sehingga timbulah banyak problem dalam pembelajaran bahasa Arab.
Pembelajaran
bahasa Arab di Indonesia sudah berlangsung berabad-abad lamanya, akan tetapi
aspek tata bunyi sebagai dasar untuk mencapai kemahiran menyimak dan berbicara
kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan karena pertama, tujuan
pembelajaran bahasa Arab hanya diarahkan agar pelajar mampu memahami bahasa
tulisan yang terdapat dalam buku-buku berbahasa Arab. Jadi, pelafalan bunyi
dalam bahasa Arab itu sendiri kurang fashih untuk dikuasai.
Dalam
kajian linguistik, bunyi merupakan ranah kajian fonologi. Yang mana fonologi
menganalisis tentang bunyi-bunyi bahasa Arab menurut fungsinya. Dalam kajian
fonologi inilah diketahui bahwa dalam bahasa Arab disamping
mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan dengan bahasa Indonesia, hal ini
yang kemudian dinamakan teori analisis kontrastif, bukan hanya dari segi
persamaannya saja tetapi ternyata bunyi dalam bahasa Arab mempunyai banyak
sekali perbedaan dengan bahasa Indonesia, bahkan ada yang sama sekali tidak ada
kesamaan bunyi ujaran diantaranya keduanya.
Bahasa pada hakekatnya adanya bunyi, yaitu berupa
gelombang udara yang keluar dari paru-paru melalui pipa suara dan melintasi
organ-organ speech atau alat bunyi. Proses terjadinya bahasa apapun di dunia
ini adalah sama. Maka tidak asing apabila ada beberapa bunyi bahasa yang hampir
dimiliki oleh beberapa bahasa di dunia seperti bunyi m, n, l, k, dan s.
Bahasa Arab, sebagai salah satu rumpun bahasa Semit,
memiliki ciri-ciri khusus dalam aspek bunyi yang tidak dimiliki bahasa lain,
terutama bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bhasa daerah
yang banyak digunakan di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Ciri-ciri khusus
itu adalah :
1. Vokal panjang dianggap sebagai fonem (أُو ، ِي ، أَ )
2. Bunyi tenggorokan (أصوات الحلق), yaitu ح dan ع
3. Bunyi tebal ( أصوات مطبقة), yaitu ض , ص , ط dan ظ .
4. Tekanan bunyi dalam kata atau stress (النبر ) 5. Bunyi
bilabial dental (شفوى أسنـانى ), yaitu ف
Terkait
dengan tata bunyi, ada beberapa problem tata bunyi yang perlu menjadi perhatian
para pembelajar non Arab salah satunya
fonem arab yang tidak ada padanya di bahasa indonesia, melay maupun brunei.
Misalnya (tsa), (Ha) Besar, (Kha), (dza),(Dhad),(sho),(tho),(zha),(`ain), dan
(ghain). Bagi pemula. Huruf-huruf tersebut tidaklah mudah. Perlu waktu dan
keuletan dalam berlatih. Seorang pelajar seorang pelajar indonesia akan merasa
kesulitan dalammengucapkan fonem-fonen tersebut , sehingga apabila fonem-fonem
tersebut masuk kedalam bahasa indonesia,
maka fonem tersebut akan menjadi fonem lain, bunyi zha atau dhad dalam bahasa
arab, misalnya, berubah menjadi lam dalam bahasa indonesia, zhahir menjadi
lahir, mahdarat menjadi melarat, zhaim menjadi lalim. Demikian juga bunyi qof
menjadi kaf seperti katqa waqt menjadi waktu, qadr mejadi kadar, qalb menjadi
kalbu dan sebagainya.
Inilah yang kemudian menjadikan
pronlematika pembelajaran bahasa Arab khususnya bagi orang Indonesia. Berikut problem dalam bunyi bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Seperti:
Satu konsonan yaitu ف,
diproduksi dengan mempertemukan bibir bawah dengan gigi atas secara frikatik
(gesek).
Tiga huruf konsonan yaitu ذ ثdan ظ, diproduksi dengan
mempertemukan ujung lidah dengan ujung-ujung gigi bawah dan atas.
Yang termasuk konsonan ini adalah ض ت ط dan د dibentuk dengan mempertemukan ujung lidah
dengan ceruk gigi dan alveolum.
Yang termasuk kelompok ini adalah ش ج dan ر dibentuk dengan mempertemukan bagian lidah
dengan langit-langit keras.
Empat konsonan ini yaitu ك غ خ dan و dibentuk dengan mempertemukan lidah bagian belakang dengan
langit-langit lunak.
Yang termasuk konsonan laringal adalahهـ dan ء.
2. Maad
Dalam kaidah ilmu tajwid, madd
ini disebut sebagai bacaan panjang. Dibahasa Arab terdapat tiga macam bentuk
madd, antara lain:
a. Alif maad
Adalah vocal panjang rendah pusat
rendah tak bundar. Vokal ini memiliki tiga alofon:
-
Berbunyi
agak condong ke (o), jika berada setelah konsonan ر, ط. Contoh: مطار، تراب
-
Posisi
lidah sedikit kebelakang jika berada setelah konsonan غ, ع. Contoh: عامل، غار
-
Berbunyi
Aa (panjang) disemua tempat selain diatas
b. Ya’ maad
Adalah vokal panjang tinggi depan
tak bundar. Vokal ini memliki tiga alofon:
-
Disentralisasi
dan agak rendah jika berada setelah konsonan emfatik. Contoh: بصير
-
Jika berada setelah خ dan غ, sepeeti غيبة
-
Berbunyi Ii (panjang) disemua tempat selain diatas.
c. Waw maad
Adalah vokal
panjang tinggi belakang bundar. Memilik dua alofon:
-
Difaringalisasi jika berdampingan dengan konsonan
emfatik. Contoh: صورة
-
Berbunyi Uu (panjang) disemua tempat.
3. Stressing (penekanan)
Dalam kaidah ilmu tajwid,
stressing atau penekanan disini disebut sebagai bacaan ghunnah, yakni
mendengung. Cara membacanya yakni didengungkan dengan ditahan selam dua
ketukan. Misal: إنّ، ثمّ
4. Intonasi
Dalam bahasa Arab dikenal tiga
tingkat intonasi yaitu:
a.
Intonasi
pokok: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/َ/
b.
Intonasi
skunder: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/ ^ /
c.
Intonasi
lemah: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/ /
Intonasi
dalam bahasa Arab mungkin bisa diprediksi jika klasifikasinya didasarkan atas
aturan-aturan tertentu sebagai berikut :
1)
Apabila
suatu kata terdiri dari satu suku kata maka inti dari suku kata tersebut
dijadikan sebagai intonasi
2)
Apabila
suatu kata terdiri dari dua suku kata pendek atau tiga suku kata pendek maka
suku kata pertama dijadikan sebagai intonasi pokok dan suku kata-suku kata
sisanya sebagai intonasi yang lemah. Contoh جلس: درس
3)
Apabila
suatu kata terdiri dari dua atau tiga suku kata yang panjang maka intonasi
pokok ada pada suku kata terakhir dan untuk suku kata-suku kata lainnya
digunakan intonasi sekunder.Contoh طاووس ناسون .
4)
Apabila
suatu kata mempunyai dua atau tiga suku kata maka intonasi pokoknya terletak
pada suku kata terakhir yang panjang. Dan intonasi skunder untuk suku kata-suku
kata sisanya apabila panjang. Sedang apabila suku kata-suku kata tersebut
pendek digunakan intonasi lemah. Contoh : كاتب،
كتاب، نائم، صائم، صيام، صائمون .
5)
Apabila
suatu kata terdiri dari empat suku kata intonasi pokok terletak pada suku kata
kedua. Kecuali apabila suku kata ketiga atau keempatnya panjang.
6)
Apabila
suatu kata terdiri dari lima suku kata intonasi pokok terletak pada suku kata
ketiga. Kecuali apabila suku kata keempat dan kelimanya panjang. Contoh : مدرستنا،
كتابتنا، بنايتنا.
7)
Apabila
suatu kata terdiri dari enam suku kata atau lebih intonasi pokok terletak pada
suku kata terakhir. Contoh : استقبالاتن .
Perlu
diketahui bahwa pengucapan intonasi yang benar sangat penting sebagaimana
pentingnya pengucapan bunyi-bunyi huruf dengan cara yang benar. Kesulitan-kesulitan
yang biasa dialami oleh para pembelajar non-Arab adalah :
a)
Pembelajar
kadang-kadang menempatkan intonasi pokok bukan pada suku kata yang benar.
b)
Pada
kesalahan penempatan intonasi sering muncul juga gejala pemanjangan vokal
pendek. Seperti kata “ صام“ diucapkan seakan-akan “ صاما ”. Kesalahan pengucapan tersebut dapat mengakibatkan
kesalahan makna.
c)
Pembelajar
kadang-kadang memberikan intonasi pokok lebih dari satu pada satu kata. Hal ini
berbeda dengan aturan pengucapan intonasi bahasa Arab yang hanya pada satu suku
kata.
d)
Pembelajar
kadang-kadang menggunakan sistem intonasi yang berlaku dalam bahasa ibunya
dalam mengucapkan bahasa Arab.
Dari
beberapa problematika bunyi dalam pendidikan bahasa Arab diata, maka berikut
ini beberapa solusi dari kesulitan-kesulitan tersebut antara lain:
1.
Pembelajar
berlatih membedakan bunyi-bunyi yang berdekatan dan yang berlawanan.
2.
Melihat
perbedaan tsunaiyyah- sughra yang terbatas pada satu suku kata memungkinkan
bagi pembelajar untuk memfokuskan hanya pada perbedaan antara dua bunyi saja
dalam setiap tsunaiyyah, yaitu ketika dia menyimak dan mengucapkannya.
3.
Pembelajar
mempunyai bukti contoh nyata bagaimana pengaruh perbedaan kedua bunyi tersebut
pada makna.
4.
Latihan
Pengucapan
Seandainya
guru melihat bahwa pembelajar tidak membedakan pengucapan antara dua bunyi,
guru harus membantu mereka dalam menghilangkan masalah tersebut.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mengatasi hal tersebut:
a)
Guru
hanya membatasi dua bunyi untuk diberi syakal kepada para pembelajarnya.
b)
Guru
memilih sejumlah tsunaiyah shughra yang cukup, dimana kedua bunyi tersebut
berhadapan. Bunyi-bunyi yang berbeda tersebut sebaiknya letaknya di awal,
tengah, dan akhir.
c)
Latihan
pengucapan dimulai oleh guru dengan mengucapkan kata-kata tertentu, sementara
para pembelajar menyimaknya. Setelah itu para pembelajarmengulanginya dengan
cara keseluruhan, per kelompok, atau per orang.
d)
Guru
mencampurkan kata-kata pada sebuah kalimat atau mirip kalimat dan memberi
contoh pengucapannya. Setelah itu para pembelajar mengulanginya dengan cara
keseluruhan, per kelompok, atau per orang.
5.
Pengulangan
Dalam
latihan pengucapan yang memerlukan pengulangan guru dapat mengikuti langkah-langkah
sbb:
a)
Guru
mengucapkan contoh bacaan yang diminta sebanyak dua atau tiga kali; sementara para
pembelajar menyimaknya.
b)
Guru
memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulanginya secara bersama-sama.
c)
Guru
memberi isyarat yang sama apabila para pembelajar masih perlu mengulanginya
secara bersama-sama.
d)
Guru
memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulangi bacaan secara per
kelompok.
e)
Guru
memberi isyarat yang sama agar para pembelajar kembali mengulangi bacaan secara
per kelompok.
f)
Guru
memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulangi bacaan secara per
orang.
Ketika
pengulangan bacaan per orang berlangsung, guru mendengarkan respon pembelajar
dan mengoreksinya apabila diperlukan. Guru mendorong mereka yang perlu didorong
dan memuji mereka yang perlu dipuji.
6.
Isyarat
T angan
Ketika
latihan berlangsung isyarat tangan dari guru sangatlah bermanfaat. Seorang guru
mungkin mempunyai beberapa isyarat khusus yang telah disepakatinya bersama para
pembelajar. Pada umumnya guru memerlukan beberapa isyarat sbb :
a)
Isyarat
permulaan Tikrarul-jam‟i
(pengulangan secarakeseluruhan). Cara ini dilakukan dengan membentangkan tangan
kemudian mengedarkannya dari satu ujung kelas ke ujung lainnya.
b)
Isyarat
permulaan Tikrarul-fiawy (pengulangan secara per kelompok). Cara ini dilakukan
dengan memberikan isyarat tangan kepada kelompok paling kanan, kemudian di
sampingnya, dan seterusnya.
c)
Isyarat
permulaan Tikrarul-fardy (pengulangan secara per orangan). Cara ini dilakukan
dengan mengisyaratkan telunjuk kepada pembelajar pertama yang duduk di bangku
paling kanan, kemudian di sampingnya, dan seterusnya.
d)
Isyarat
pengulangan berakhir. Guru memerlukan isyarat untuk menunjukkan bahwa
pengulangan akan berakhir. Caranya yaitu dengan mengangkat telapak tangan ke
arah para pembelajar.
2.2 Problematika
qawaid sharfaiyah bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
Ciri
khas ketiga yang dimiliki bahasa Arab adalah pola pembentukan kata yang sangat
fleksibel, baik melalui derivasi (تصريف استـقاقى ) maupun dengan cara infleksi (تصريف إعرابـى ). Dengan
melalui dua cara pembentukan kata ini, bahasa Arab menjadi sangat kaya sekali
dengan kosakata. Misalnya dari akar kata علم , bila
dikembangkan dengan cara اشتقاقى , maka akan
menjadi :
• عَلِم – يَعلَم dan seterusnya = 10 kata
• – يعلِّم عَلّم dan
seterusnya = 10 kata
• أعلم – يعلم dan
seterusnya = 10 kata
• تعلم – يتعلم dan
seterusnya = 10 kata
• تعالم – يتعالم dan seterusnya = 10 kata
• يستعلم– استعلم dan seterusnya = 10 kata
Dalam hal
tabiat bahasa Arab yang berbeda dari bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam
hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan pemecahannya dengan sederhana, yakni
dengan belajar tajwid. Permasalahannya adalah bila memang alat bicara pada
mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Arab maka memang ada masalah, tetapi
perbedaan dari segi fisik para pelajar baik Indonesia maupun negara-negara
lainnya ternyata tidak ada. Karena itu perbedaan tabiat bahasa tersebut
sebetulnya bukan problem yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan
demikian problem tersebut tidak layak disebut sebagai problem kesulitan dalam
pendidikan bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan masalah etimologi
(as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya
tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau
tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang
ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari
perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti
terjemahannya "kunci" dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat
diselesai-kan sehingga diketahui bahwa "kunci" itu alat pembuka yang
bisa diketahui melalui kata fataha ((فتح yang berarti membuka
menjadi miftah (مِفتاح) dengan makna alat untuk membuka.
Lain masalahnya
bila suatu bahasa itu tidak mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak
dibebani untuk menghafal kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat
dalam bahasa Arab justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata
lama yang sudah dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum
diketahui sebutannya dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa
tidak layak dianggap sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya
atau tidak terbiasa dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan
penyebab terjadinya problem dalam pendidikan bahasa Arab.
Sharaf atau
tashsrif merupakan ilmu yang sangat urgen bagi peminat bahasa Arab, karena
sharaf merupakan alat untuk menguasai bahasa Arab fushhah secara sempurna
disamping ilmu nahwu. Berangkat dari hal tersebut “apapun alasannya”
pembelajaran sharaf tak dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya tujuan
pembelajaran sharaf adalah mengenalkan dan membiasakan peminat bahasa Arab
menggunakan kaidah-kaidah sharaf secara tepat, sehingga terhindar dari
kesalahan lisan, baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan ( Fahr al Din Amir,
tt).
Ada sebagian ahli bahasa Arab kontemporer yang
menjadikan nahwu dan sharaf suatu bagian yang tak terpisahkan ( Abduh ar Rajih,
1979). Fonemena ini boleh jadi timbul dikarenakan kebiasaan para ahli bahasa
Arab “sejak Sibawaih” ketika menulis ilmu nahwu turut menyertakan sharaf di
dalamnya. Dan ini menurut penulis sah-sah saja meskipun kedua cabang ilmu
tersebut mempunyai peranan dan garapan yang berbeda. Jika boleh penulis
mengibaratkan nahwu dan sharaf sebuah keluarga. Sharaf ialah ibu bagi bahasa
Arab karena dari sharaf lahir kata-kata Arab yang memiliki arti yang beragam,
sedangkan nahwu adalah bapaknya, karena ia mengatur kata-kata yang telah lahir
itu dalam susunan kalimat yang benar.
Sehingga wajar
ketika Dr Abduh ar Rajih dalam Fiqh al lughah fi al kitab al Arabiyah
menganjurkan kepada peminat pemula bahasa Arab untuk mempelajari sharaf
terlebih dahulu dibandingkan nahwu( Abduh ar Rajih, 1979).
Namun yang
disayangkan sebagian siswa non Arab khususnya di Indonesia mengalami kesulitan
dalam menekuni bahasa Arab, hemat penulis boleh jadi ini disebabkan missorientasi
terhadap sharaf, siswa disibukkan dengan tata bahasa yang cenderung teoritis
bukan bahasa Arab itu sendiri secara pragmatis. Pada akhirnya sebagaimana
pengamatan Dr. Ahmad Syalabi ketika berkunjung ke Indonesia bahwa sebagian
besar siswa yang menekuni bahasa Arab bertahun-tahun lamanya, hanya mahir dalam
tata bahasa tidak dalam bahasa itu sendiri ( Ahmad Syalabi, 1980).
Lebih-lebih para siswa madrasah formal yang
pendekatan pengajaranya hingga kini masih banyak cenderung menggunakan metode
tata bahasa dan terjemah walaupun dalam buku panduan dari Depag para guru
diharapkan menggunakan metode eclektic/ campuran, tapi lagi-lagi pengunaan
metode qowaid/ tata bahasa lebih dominan. Hal tersebut tidak lepas dari
kompetensi guru-guru di madrasah yang ada sekarang ini. Jika melihat
terbatasnya waktu dan materi maka perlu diimbangi kompetensi pengajar bahasa
Arab yang ideal.
Berangkat dari uraian di atas penulis berupaya
keras untuk menghandirkan penyederhanaan pembelajaran sharaf bagi para siswa
non Arab yang selanjutnya dapat diaplikasikan untuk para siswa di
madarasah-madrasah formal. Dalam makalah ini penulis tidak menghadirkan sesuatu
yang baru dalam pembelajaran ilmu sharaf, melainkan peran penulis hanya
mengambil dan merangkum dari para ahli bahasa terdahulu maupun kontemporer
lewat beberapa literatur yang ada.
Penyederhanaan Kaidah Sharaf
Dari
pendahuluan dapat kita pahami bahwa ilmu sahraf hanyalah alat untuk
menghantarkan peminat bahasa Arab menguasai bahasa Arab fushhah. Secara
sederhana ketika siswa belajar sharaf akan semakin mudah menguasai bahasa Arab
dan bukan sebaliknya bertambah runyam dan dibingungkan oleh kaidah sharaf itu
sendiri.
Penulis mencoba mendiagnosa kesulitan yang ada
pada ilmu sharaf sehingga menyulitkan para siswa di antaranya, Pertama; adanya
penambahan huruf dalam beberapa fi’il yang selanjutnya mengandung arti yang
berbeda-beda, kedua; adanya i’lal dan ibdal dan yang ketiga; adanya beberapa
wazan dalam isim, seperti isim alat, isim maf’ul, isim fa’il dll. Boleh jadi
keresahan itu benar adanya karena secara kebahasaan sharaf atau tashhrif
bermakna perubahan, sehingga kemudian siswa akan menemukan perubahan itu baik
penambahan maupun pergantian huruf baik pada fi’il maupun isim, hal itulah yang
membingungkan siswa.
Sebagaimana kita tahu bahwa garapan ilmu
sharaf ada dua macam yaitu al-af’al al mutasharrifah dan al asma’ al
mutamakkinah. Pertama, pada al af’al mutasharrifah. Secara umum fi’il terdiri
dari tiga huruf (asli) walaupun ada yang empat atau lima huruf tapi jumlahnya
relatif sedikit dan selebihnya kita kenal huruf tambahan. Para ulama sharaf
telah membuat al mizan al sharfi ( timbangan dalam ilmu sharaf) yaitu fa’ala (
fa’ – ‘a – la ) ( Taufiq M Syahin, tt). Ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa
mengacu af’al lainnya kepada wazan fa’ala. Pengajar cukup menyebut huruf
tambahan bagi fi’il yang berjumlah sepuluh huruf yang terangkum dalam kalimat
sa’altumuniha. Langkah pertama pengajar mengenalkan kepada siswa al auzan al
sharfiyah tersebut kepada siswa sehingga ketika siswa menemukan beberapa fi’il
lain yang memiliki lebih dari tiga huruf (huruf asli) siswa langsung dapat
mengenali mana huruf yang asli dan mana yang tambahan. Dan mengenai pembahasan
tentang bebrapa fi’il yang telah mengandung huruf tambahan ( al af’al al mazidah
ba al ahruf) tidak perlu diuraikan secara panjang lebar karena itu bisa
dipahami bersamaan ketika membaca sebuah teks. Misalnya ketika siswa menemukan
fi’il istaghfara dalam sebuah teks, pengajar akan menjelaskan bahwa wazan
tersebut memiliki arti permintaan, sehingga siswa akan tahu dengan sendirinya
istaghfara berarti meminta ampun. Dan tidak perlu diuraikan mengapa hal itu
bisa terjadi secara panjang lebar. Adapun kaidah i’lal dan ibdal bagi pemula
tidak perlu dijelaskan secara mendetail, pengajar hanya cukup memberikan contoh
dari kaidah tersebut, seperti qoil aslinya qowil untuk mempermudah pengucapan
menjadi qoil dengan mengubah huruf waw dengan hamzah.
Kedua, pada al asma’ al mutamakkinah juga
memiliki wazan, siswa cukup hanya menghafal wazan dan kata/ isim lainnya dapat
di qiyaskan kepada wazan tersebut. Misalnya wazan isim alat adalah mif’alun/
mif’alatun maka ketika kita siswa menemukan miftahun berarti akan diketahui
maknannya yaitu alat untuk membuka atau kunci. Miknasatun alat untuk menyapu/
sapu dan sebagainya.
Dan yang patut ditekankan adalah tidak semua
kaidah sharaf layak untuk diajarkan secara terperinci kepada siswa non arab.
Oleh kerena itu pengajar ilmu sharaf/ guru bahasa Arab seharusnya membatasi
betul materi kaidah sharaf yang layak untuk disampaikan kepada siswa, sehingga
kaidah sharaf yang tadinya dirasa susah akan terasa mudah.
Berkaitan
dengan problematika sebelumnya perlu diketahui bahwa segi-segi sharaf
(Morfologi) dalam bahasa arab yang tidak terdapat dalam bahasa indonesia,
semisal konjungsi (tashrif) sistem perubahan dengan pola-pola tertentu yang
menimbulkan makna tertentu. Perubahan dari satu pola ke pola lain memiliki akar
kata yang sama.
Dapat dicontohkan disini, misalnya fiil
madhi (kata kerja bentuk lampau) untuk jenis laki-laki seorang(mudzakkar
mufrod) فتح yang artinya “Membuka” memiliki perubahan
antara lain :
-
Fiil mudhari (kata kerja sedang atau akan) = يفتح :yaftahu
-
Fiil Amr (kata kerja perintah) = افتح : Iftah
-
Isim Mashdar (kata kerja yang dibendakan)= فتح :Fath
-
Isim Fail (kata benda bermakna pelaku) = فاتح : Faatih
-
Isim Maf`ul (kata benda bermakna yang dikerjakan atau dikenal
pekerjaan) = مفتوح : maftuh
-
Isim Alah (kata benda bermakna alat)= مفتح: Miftah
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
1. Problematika
bunyi dalam pendidikan bahasa Arab disebabkan perbedaan pada bunyi pada bahasa
Indonesia dan bunyi pada bahasa Arab. Berikut problem dalam bunyi bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia:
a. Konsonan
b.
Madd
c.
Stressing
d.
Intonasi
2.
Qawaid sharfiyah dalam bahasa Arab memang dianggap
rumit oleh kebanyakan pembelajar bahasa Arab non Arab, karena dalam pola
pembentukan kata yang sangat fleksibel, baik melalui derivasi (تصريف استـقاقى ) maupun dengan cara infleksi (تصريف إعرابـى ). Dengan
melalui dua cara pembentukan kata ini, bahasa Arab menjadi sangat kaya sekali
dengan kosakata. Itulah yang menjadi problem qawaid sharfiyah dalam pendidikan
bahasa Arab.
3.2
Saran
Demikian
makalah ini kami buat, apabila terdapat kekurangan ataupun kesalaan didalamnya,
Kami mohon krtik dan sarannya bagi para pembaca umumnya dan dosen pembimbing
khususnya. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
0 komentar:
Posting Komentar