Minggu, 12 Oktober 2014

Problematika Bunyi dan Qowaid Shorfiyah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling penting dalam berinteraksi dengan siapapun di dunia ini, banyak sekali bahasa yang tercipta, semua itu untuk mempermudah dalam berkomunikasi dengan yang lainnya. Bahasa juga merupakan alat komunikasi yang utama, kreatif, dan cepat bagi manusia untuk menyampaikan ide, pikiran dan perasaannya. Bahasa tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan manusia, karena manusialah yang menggunakan bahasa itu sendiri untuk berinteraksi.
Bahasa Arab memiliki keistimewaan dengan bahasa lainnya, karena nilai sastra yang bermutu tinggi bagi mereka yang mendalaminya serta bahasa Arab juga ditakdirkan sebagai bahasa Al-Qur’an yang mengkomunikasikan kalam Allah. Karena di dalamnya terdapat uslub bahasa yang mengagumkan bagi manusia dan tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya.
Bahasa apapun di dunia memliki beberapa unsure bahasa yang satu dengan lainnya tidak boleh dipisahkan ketika mempelajari bahasa dan mengajarkan bahasa termasuk bahasa Arab. Bahasa Arab mempunyai tiga unsur, tiga unsur tersebut meliputi bunyi, kosakata, dan tata bahasa. Ketiga unsur tersebut sangat mendasar untuk dikuasai ketika belajar bahasa Arab, ketika tiga unsur tersebut dapat dikuasai dengan baik maka akan baik pula pada penguasaan keterampilan bahasanya. Akan tetapi pada kenyataanya, banyak sekali pebelajar bahasa Arab yang kesulitan menguasai ketiga unsur tersebut, karena bahasa Arab itu beda dari bahasa-bahasa lain. Pada unsur bunyi saja ada banyak macam bentuk bunyi kata yang mana dalam bahasa lain tidak memiliki sebanyak bentuk bunyi dalam bahasa Arab. Begitu juga pada kedua unsur lainnya, selain bahasa Arab tidak kaya akan kosakata dan juga tata bahasa yang sedemikian rumit pada bahasa Arab.
Hal ini kemudian menjadi problem dalam pendidikan bahasa Arab, khususnya pada pembelajaran bahasa Arab, baik itu di sekolah formal maupun lembaga non formal dan lembaga kursus lainnya. Karena bahasa Arab ini sebagai bahasa kedua oleh orang Indonesia, maka memang sudah wajar ketika problem ini masih sangat kompleks ketika belajar bahasa Arab.
Dengan ini penulis akan memberikan sedikit pemaparan mengenai problematika unsur bunyi dan qawaid sharfiyah pada pendidikan  bahasa arab guna untuk mengetahui problem apa saja yang terjadi pada pembelajaran bahasa Arab yang sebenarnya. Dan setelah diketahui problematika apa saja yang terjadi, maka selanjutnya bisa dicarikan solusi yang tepat untuk mengatasi problematika-problematika yang terjadi.
1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang muncul sebagai berikut:
1.    Apa problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab ?
2.    Apa problematika qawaid sharfaiyah  bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab ?

1.3    Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.    Problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
2.    Problematika qawaid sharfaiyah bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Problematika bunyi bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
Menurut Syakur (2010: 69-70) Permasalahan linguistik merupakan kesulitan yang dihadapi siswa ketika mempelajari unsur-unsur bahasa tujuan (kedua). Kesulitan itu muncul karena apa yangterdapat pada bahasa kedua agak berbeda dengan apa yang ada pada bahasa pertamanya, baik pada tataran bunyi, kata, struktur, arti, dan tulisan.
Problematika linguistik adalah kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran yang diakibatkan oleh karakteristik bahasa Arab itu sendiri sebagai bahasa Asing bagi anak-anak Indonesia. Sehingga timbulah banyak problem dalam pembelajaran bahasa Arab.
Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sudah berlangsung berabad-abad lamanya, akan tetapi aspek tata bunyi sebagai dasar untuk mencapai kemahiran menyimak dan berbicara kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan karena pertama, tujuan pembelajaran bahasa Arab hanya diarahkan agar pelajar mampu memahami bahasa tulisan yang terdapat dalam buku-buku berbahasa Arab. Jadi, pelafalan bunyi dalam bahasa Arab itu sendiri kurang fashih untuk dikuasai.
Dalam kajian linguistik, bunyi merupakan ranah kajian fonologi. Yang mana fonologi menganalisis tentang bunyi-bunyi bahasa Arab menurut fungsinya. Dalam kajian fonologi inilah diketahui bahwa dalam bahasa Arab disamping mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan dengan bahasa Indonesia, hal ini yang kemudian dinamakan teori analisis kontrastif, bukan hanya dari segi persamaannya saja tetapi ternyata bunyi dalam bahasa Arab mempunyai banyak sekali perbedaan dengan bahasa Indonesia, bahkan ada yang sama sekali tidak ada kesamaan bunyi ujaran diantaranya keduanya.
Bahasa pada hakekatnya adanya bunyi, yaitu berupa gelombang udara yang keluar dari paru-paru melalui pipa suara dan melintasi organ-organ speech atau alat bunyi. Proses terjadinya bahasa apapun di dunia ini adalah sama. Maka tidak asing apabila ada beberapa bunyi bahasa yang hampir dimiliki oleh beberapa bahasa di dunia seperti bunyi m, n, l, k, dan s.
Bahasa Arab, sebagai salah satu rumpun bahasa Semit, memiliki ciri-ciri khusus dalam aspek bunyi yang tidak dimiliki bahasa lain, terutama bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bhasa daerah yang banyak digunakan di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Ciri-ciri khusus itu adalah :
1. Vokal panjang dianggap sebagai fonem (أُو ، ِي ، أَ )
2. Bunyi tenggorokan (أصوات الحلق), yaitu ح dan ع
3. Bunyi tebal ( أصوات مطبقة), yaitu ض , ص , ط dan ظ .
4. Tekanan bunyi dalam kata atau stress (النبر ) 5. Bunyi bilabial dental (شفوى أسنـانى ), yaitu ف
Terkait dengan tata bunyi, ada beberapa problem tata bunyi yang perlu menjadi perhatian para  pembelajar non Arab salah satunya fonem arab yang tidak ada padanya di bahasa indonesia, melay maupun brunei. Misalnya (tsa), (Ha) Besar, (Kha), (dza),(Dhad),(sho),(tho),(zha),(`ain), dan (ghain). Bagi pemula. Huruf-huruf tersebut tidaklah mudah. Perlu waktu dan keuletan dalam berlatih. Seorang pelajar seorang pelajar indonesia akan merasa kesulitan dalammengucapkan fonem-fonen tersebut , sehingga apabila fonem-fonem tersebut masuk kedalam bahasa  indonesia, maka fonem tersebut akan menjadi fonem lain, bunyi zha atau dhad dalam bahasa arab, misalnya, berubah menjadi lam dalam bahasa indonesia, zhahir menjadi lahir, mahdarat menjadi melarat, zhaim menjadi lalim. Demikian juga bunyi qof menjadi kaf seperti katqa waqt menjadi waktu, qadr mejadi kadar, qalb menjadi kalbu dan sebagainya.
Inilah yang kemudian menjadikan pronlematika pembelajaran bahasa Arab khususnya bagi orang Indonesia. Berikut problem dalam bunyi bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Seperti:
1.    Huruf Konsonan
Berikut ini adalah bagian-bagian konsonan bahasa arab secara spesifik :
a.    Konsonan Bilabial
Ada dua konsonan yaitu huruf ب dan م, keduanya diproduksi dengan mempertemukan bibir baah dan atas.
b.    Konsonan Labiodental
Satu konsonan yaitu ف, diproduksi dengan mempertemukan bibir bawah dengan gigi atas secara frikatik (gesek).
c.    Konsonan Interdental
Tiga huruf konsonan yaitu ذ ثdan ظ, diproduksi dengan mempertemukan ujung lidah dengan ujung-ujung gigi bawah dan atas.
d.   KonsonanApiko-Dentalveolar
Yang termasuk konsonan ini adalah ض ت ط dan  د dibentuk dengan mempertemukan ujung lidah dengan ceruk gigi dan alveolum.
e.    KonsonanApiko-Alveolar
Tiga huruf konsonan yaituن ل danر dibentuk dengan mempertemukan bagian depan lidah dengan alveolum.
f.     KonsonanFronto-Palatal
Yang termasuk kelompok ini adalah ش ج  dan ر dibentuk dengan mempertemukan bagian lidah dengan langit-langit keras.
g.    KonsonanDorso-Velar
Empat konsonan ini yaitu ك غ خ  dan و dibentuk dengan mempertemukan lidah bagian belakang dengan langit-langit lunak.
h.    KonsonanDorso-Uvular
Huruf konsonan ق dibentuk dengan mempertemukan lidah bahian belakang dengan uvula.
i.      KonsonanVaringal
Huruf konsonan ع dan  حdibentuk dengan mempertemukan faring dengan pangkal lidah.
j.      KonsonanLaringal
Yang termasuk konsonan laringal adalahهـ  dan  ء.
2.    Maad
Dalam kaidah ilmu tajwid, madd ini disebut sebagai bacaan panjang. Dibahasa Arab terdapat tiga macam bentuk madd, antara lain:
a.       Alif maad
Adalah vocal panjang rendah pusat rendah tak bundar. Vokal ini memiliki tiga alofon:
-          Berbunyi agak condong ke (o), jika berada setelah konsonan ر, ط. Contoh: مطار، تراب
-          Posisi lidah sedikit kebelakang jika berada setelah konsonan غ, ع. Contoh: عامل، غار
-          Berbunyi Aa (panjang) disemua tempat selain diatas

b.      Ya’ maad
Adalah vokal panjang tinggi depan tak bundar. Vokal ini memliki tiga alofon:
-          Disentralisasi dan agak rendah jika berada setelah konsonan emfatik. Contoh: بصير
-          Jika berada setelah خ dan غ, sepeeti غيبة
-          Berbunyi Ii (panjang) disemua tempat selain diatas.
c.       Waw maad
Adalah vokal panjang tinggi belakang bundar. Memilik dua alofon:
-          Difaringalisasi jika berdampingan dengan konsonan emfatik. Contoh: صورة
-          Berbunyi Uu (panjang) disemua tempat.
3.    Stressing (penekanan)
Dalam kaidah ilmu tajwid, stressing atau penekanan disini disebut sebagai bacaan ghunnah, yakni mendengung. Cara membacanya yakni didengungkan dengan ditahan selam dua ketukan. Misal: إنّ، ثمّ
4.    Intonasi
Dalam bahasa Arab dikenal tiga tingkat intonasi yaitu:
a.    Intonasi pokok: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/َ/
b.    Intonasi skunder: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/ ^ /
c.    Intonasi lemah: intonasi ini mempunyai lambang fonetik/ /
Intonasi dalam bahasa Arab mungkin bisa diprediksi jika klasifikasinya didasarkan atas aturan-aturan tertentu sebagai berikut :
1)   Apabila suatu kata terdiri dari satu suku kata maka inti dari suku kata tersebut dijadikan sebagai intonasi
2)   Apabila suatu kata terdiri dari dua suku kata pendek atau tiga suku kata pendek maka suku kata pertama dijadikan sebagai intonasi pokok dan suku kata-suku kata sisanya sebagai intonasi yang lemah. Contoh  جلسدرس
3)   Apabila suatu kata terdiri dari dua atau tiga suku kata yang panjang maka intonasi pokok ada pada suku kata terakhir dan untuk suku kata-suku kata lainnya digunakan intonasi sekunder.Contoh طاووس ناسون .
4)   Apabila suatu kata mempunyai dua atau tiga suku kata maka intonasi pokoknya terletak pada suku kata terakhir yang panjang. Dan intonasi skunder untuk suku kata-suku kata sisanya apabila panjang. Sedang apabila suku kata-suku kata tersebut pendek digunakan intonasi lemah. Contoh : كاتب، كتاب، نائم، صائم، صيام، صائمون .
5)   Apabila suatu kata terdiri dari empat suku kata intonasi pokok terletak pada suku kata kedua. Kecuali apabila suku kata ketiga atau keempatnya panjang.
6)   Apabila suatu kata terdiri dari lima suku kata intonasi pokok terletak pada suku kata ketiga. Kecuali apabila suku kata keempat dan kelimanya panjang. Contoh : مدرستنا، كتابتنا، بنايتنا.
7)   Apabila suatu kata terdiri dari enam suku kata atau lebih intonasi pokok terletak pada suku kata terakhir. Contoh : استقبالاتن .
Perlu diketahui bahwa pengucapan intonasi yang benar sangat penting sebagaimana pentingnya pengucapan bunyi-bunyi huruf dengan cara yang benar. Kesulitan-kesulitan yang biasa dialami oleh para pembelajar non-Arab adalah :
a)    Pembelajar kadang-kadang menempatkan intonasi pokok bukan pada suku kata yang benar.
b)   Pada kesalahan penempatan intonasi sering muncul juga gejala pemanjangan vokal pendek. Seperti kata “  صام“ diucapkan seakan-akan “ صاما ”. Kesalahan pengucapan tersebut dapat mengakibatkan kesalahan makna.
c)    Pembelajar kadang-kadang memberikan intonasi pokok lebih dari satu pada satu kata. Hal ini berbeda dengan aturan pengucapan intonasi bahasa Arab yang hanya pada satu suku kata.
d)   Pembelajar kadang-kadang menggunakan sistem intonasi yang berlaku dalam bahasa ibunya dalam mengucapkan bahasa Arab.

Dari beberapa problematika bunyi dalam pendidikan bahasa Arab diata, maka berikut ini beberapa solusi dari kesulitan-kesulitan tersebut antara lain:
1.    Pembelajar berlatih membedakan bunyi-bunyi yang berdekatan dan yang berlawanan.
2.    Melihat perbedaan tsunaiyyah- sughra yang terbatas pada satu suku kata memungkinkan bagi pembelajar untuk memfokuskan hanya pada perbedaan antara dua bunyi saja dalam setiap tsunaiyyah, yaitu ketika dia menyimak dan mengucapkannya.
3.    Pembelajar mempunyai bukti contoh nyata bagaimana pengaruh perbedaan kedua bunyi tersebut pada makna.



4.    Latihan Pengucapan
Seandainya guru melihat bahwa pembelajar tidak membedakan pengucapan antara dua bunyi, guru harus membantu mereka dalam menghilangkan masalah tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mengatasi hal tersebut:
a)    Guru hanya membatasi dua bunyi untuk diberi syakal kepada para pembelajarnya.
b)    Guru memilih sejumlah tsunaiyah shughra yang cukup, dimana kedua bunyi tersebut berhadapan. Bunyi-bunyi yang berbeda tersebut sebaiknya letaknya di awal, tengah, dan akhir.
c)    Latihan pengucapan dimulai oleh guru dengan mengucapkan kata-kata tertentu, sementara para pembelajar menyimaknya. Setelah itu para pembelajarmengulanginya dengan cara keseluruhan, per kelompok, atau per orang.
d)    Guru mencampurkan kata-kata pada sebuah kalimat atau mirip kalimat dan memberi contoh pengucapannya. Setelah itu para pembelajar mengulanginya dengan cara keseluruhan, per kelompok, atau per orang.
5.    Pengulangan
Dalam latihan pengucapan yang memerlukan pengulangan guru dapat mengikuti langkah-langkah sbb:
a)    Guru mengucapkan contoh bacaan yang diminta sebanyak dua atau tiga kali; sementara para pembelajar menyimaknya.
b)   Guru memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulanginya secara bersama-sama.
c)    Guru memberi isyarat yang sama apabila para pembelajar masih perlu mengulanginya secara bersama-sama.
d)    Guru memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulangi bacaan secara per kelompok.
e)    Guru memberi isyarat yang sama agar para pembelajar kembali mengulangi bacaan secara per kelompok.
f)     Guru memberi isyarat kepada para pembelajar untuk mengulangi bacaan secara per orang.
Ketika pengulangan bacaan per orang berlangsung, guru mendengarkan respon pembelajar dan mengoreksinya apabila diperlukan. Guru mendorong mereka yang perlu didorong dan memuji mereka yang perlu dipuji.
6.    Isyarat T angan      
Ketika latihan berlangsung isyarat tangan dari guru sangatlah bermanfaat. Seorang guru mungkin mempunyai beberapa isyarat khusus yang telah disepakatinya bersama para pembelajar. Pada umumnya guru memerlukan beberapa isyarat sbb :
a)    Isyarat permulaan Tikrarul-jami (pengulangan secarakeseluruhan). Cara ini dilakukan dengan membentangkan tangan kemudian mengedarkannya dari satu ujung kelas ke ujung lainnya.
b)   Isyarat permulaan Tikrarul-fiawy (pengulangan secara per kelompok). Cara ini dilakukan dengan memberikan isyarat tangan kepada kelompok paling kanan, kemudian di sampingnya, dan seterusnya.
c)    Isyarat permulaan Tikrarul-fardy (pengulangan secara per orangan). Cara ini dilakukan dengan mengisyaratkan telunjuk kepada pembelajar pertama yang duduk di bangku paling kanan, kemudian di sampingnya, dan seterusnya.
d)   Isyarat pengulangan berakhir. Guru memerlukan isyarat untuk menunjukkan bahwa pengulangan akan berakhir. Caranya yaitu dengan mengangkat telapak tangan ke arah para pembelajar.

2.2 Problematika qawaid sharfaiyah bahasa Arab dalam pendidikan bahasa Arab.
Ciri khas ketiga yang dimiliki bahasa Arab adalah pola pembentukan kata yang sangat fleksibel, baik melalui derivasi (تصريف استـقاقى ) maupun dengan cara infleksi (تصريف إعرابـى ). Dengan melalui dua cara pembentukan kata ini, bahasa Arab menjadi sangat kaya sekali dengan kosakata. Misalnya dari akar kata علم , bila dikembangkan dengan cara اشتقاقى , maka akan menjadi :
عَلِم – يَعلَم dan seterusnya = 10 kata
• – يعلِّم عَلّم dan seterusnya = 10 kata
أعلم – يعلم dan seterusnya = 10 kata
تعلم – يتعلم dan seterusnya = 10 kata
تعالم – يتعالم dan seterusnya = 10 kata
يستعلم– استعلم dan seterusnya = 10 kata
Dalam hal tabiat bahasa Arab yang berbeda dari bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan pemecahannya dengan sederhana, yakni dengan belajar tajwid. Permasalahannya adalah bila memang alat bicara pada mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Arab maka memang ada masalah, tetapi perbedaan dari segi fisik para pelajar baik Indonesia maupun negara-negara lainnya ternyata tidak ada. Karena itu perbedaan tabiat bahasa tersebut sebetulnya bukan problem yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan demikian problem tersebut tidak layak disebut sebagai problem kesulitan dalam pendidikan bahasa Arab.
 Dalam kaitannya dengan masalah etimologi (as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti terjemahannya "kunci" dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat diselesai-kan sehingga diketahui bahwa "kunci" itu alat pembuka yang bisa diketahui melalui kata fataha ((فتح yang berarti membuka menjadi miftah (مِفتاح) dengan makna alat untuk membuka. 
Lain masalahnya bila suatu bahasa itu tidak mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak dibebani untuk menghafal kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat dalam bahasa Arab justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata lama yang sudah dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum diketahui sebutannya dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa tidak layak dianggap sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya atau tidak terbiasa dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan penyebab terjadinya problem dalam pendidikan bahasa Arab.
Sharaf atau tashsrif merupakan ilmu yang sangat urgen bagi peminat bahasa Arab, karena sharaf merupakan alat untuk menguasai bahasa Arab fushhah secara sempurna disamping ilmu nahwu. Berangkat dari hal tersebut “apapun alasannya” pembelajaran sharaf tak dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya tujuan pembelajaran sharaf adalah mengenalkan dan membiasakan peminat bahasa Arab menggunakan kaidah-kaidah sharaf secara tepat, sehingga terhindar dari kesalahan lisan, baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan ( Fahr al Din Amir, tt).
 Ada sebagian ahli bahasa Arab kontemporer yang menjadikan nahwu dan sharaf suatu bagian yang tak terpisahkan ( Abduh ar Rajih, 1979). Fonemena ini boleh jadi timbul dikarenakan kebiasaan para ahli bahasa Arab “sejak Sibawaih” ketika menulis ilmu nahwu turut menyertakan sharaf di dalamnya. Dan ini menurut penulis sah-sah saja meskipun kedua cabang ilmu tersebut mempunyai peranan dan garapan yang berbeda. Jika boleh penulis mengibaratkan nahwu dan sharaf sebuah keluarga. Sharaf ialah ibu bagi bahasa Arab karena dari sharaf lahir kata-kata Arab yang memiliki arti yang beragam, sedangkan nahwu adalah bapaknya, karena ia mengatur kata-kata yang telah lahir itu dalam susunan kalimat yang benar.
Sehingga wajar ketika Dr Abduh ar Rajih dalam Fiqh al lughah fi al kitab al Arabiyah menganjurkan kepada peminat pemula bahasa Arab untuk mempelajari sharaf terlebih dahulu dibandingkan nahwu( Abduh ar Rajih, 1979).
Namun yang disayangkan sebagian siswa non Arab khususnya di Indonesia mengalami kesulitan dalam menekuni bahasa Arab, hemat penulis boleh jadi ini disebabkan missorientasi terhadap sharaf, siswa disibukkan dengan tata bahasa yang cenderung teoritis bukan bahasa Arab itu sendiri secara pragmatis. Pada akhirnya sebagaimana pengamatan Dr. Ahmad Syalabi ketika berkunjung ke Indonesia bahwa sebagian besar siswa yang menekuni bahasa Arab bertahun-tahun lamanya, hanya mahir dalam tata bahasa tidak dalam bahasa itu sendiri ( Ahmad Syalabi, 1980).
 Lebih-lebih para siswa madrasah formal yang pendekatan pengajaranya hingga kini masih banyak cenderung menggunakan metode tata bahasa dan terjemah walaupun dalam buku panduan dari Depag para guru diharapkan menggunakan metode eclektic/ campuran, tapi lagi-lagi pengunaan metode qowaid/ tata bahasa lebih dominan. Hal tersebut tidak lepas dari kompetensi guru-guru di madrasah yang ada sekarang ini. Jika melihat terbatasnya waktu dan materi maka perlu diimbangi kompetensi pengajar bahasa Arab yang ideal.
 Berangkat dari uraian di atas penulis berupaya keras untuk menghandirkan penyederhanaan pembelajaran sharaf bagi para siswa non Arab yang selanjutnya dapat diaplikasikan untuk para siswa di madarasah-madrasah formal. Dalam makalah ini penulis tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam pembelajaran ilmu sharaf, melainkan peran penulis hanya mengambil dan merangkum dari para ahli bahasa terdahulu maupun kontemporer lewat beberapa literatur yang ada.
Penyederhanaan Kaidah Sharaf
Dari pendahuluan dapat kita pahami bahwa ilmu sahraf hanyalah alat untuk menghantarkan peminat bahasa Arab menguasai bahasa Arab fushhah. Secara sederhana ketika siswa belajar sharaf akan semakin mudah menguasai bahasa Arab dan bukan sebaliknya bertambah runyam dan dibingungkan oleh kaidah sharaf itu sendiri.
 Penulis mencoba mendiagnosa kesulitan yang ada pada ilmu sharaf sehingga menyulitkan para siswa di antaranya, Pertama; adanya penambahan huruf dalam beberapa fi’il yang selanjutnya mengandung arti yang berbeda-beda, kedua; adanya i’lal dan ibdal dan yang ketiga; adanya beberapa wazan dalam isim, seperti isim alat, isim maf’ul, isim fa’il dll. Boleh jadi keresahan itu benar adanya karena secara kebahasaan sharaf atau tashhrif bermakna perubahan, sehingga kemudian siswa akan menemukan perubahan itu baik penambahan maupun pergantian huruf baik pada fi’il maupun isim, hal itulah yang membingungkan siswa.
 Sebagaimana kita tahu bahwa garapan ilmu sharaf ada dua macam yaitu al-af’al al mutasharrifah dan al asma’ al mutamakkinah. Pertama, pada al af’al mutasharrifah. Secara umum fi’il terdiri dari tiga huruf (asli) walaupun ada yang empat atau lima huruf tapi jumlahnya relatif sedikit dan selebihnya kita kenal huruf tambahan. Para ulama sharaf telah membuat al mizan al sharfi ( timbangan dalam ilmu sharaf) yaitu fa’ala ( fa’ – ‘a – la ) ( Taufiq M Syahin, tt). Ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa mengacu af’al lainnya kepada wazan fa’ala. Pengajar cukup menyebut huruf tambahan bagi fi’il yang berjumlah sepuluh huruf yang terangkum dalam kalimat sa’altumuniha. Langkah pertama pengajar mengenalkan kepada siswa al auzan al sharfiyah tersebut kepada siswa sehingga ketika siswa menemukan beberapa fi’il lain yang memiliki lebih dari tiga huruf (huruf asli) siswa langsung dapat mengenali mana huruf yang asli dan mana yang tambahan. Dan mengenai pembahasan tentang bebrapa fi’il yang telah mengandung huruf tambahan ( al af’al al mazidah ba al ahruf) tidak perlu diuraikan secara panjang lebar karena itu bisa dipahami bersamaan ketika membaca sebuah teks. Misalnya ketika siswa menemukan fi’il istaghfara dalam sebuah teks, pengajar akan menjelaskan bahwa wazan tersebut memiliki arti permintaan, sehingga siswa akan tahu dengan sendirinya istaghfara berarti meminta ampun. Dan tidak perlu diuraikan mengapa hal itu bisa terjadi secara panjang lebar. Adapun kaidah i’lal dan ibdal bagi pemula tidak perlu dijelaskan secara mendetail, pengajar hanya cukup memberikan contoh dari kaidah tersebut, seperti qoil aslinya qowil untuk mempermudah pengucapan menjadi qoil dengan mengubah huruf waw dengan hamzah.
 Kedua, pada al asma’ al mutamakkinah juga memiliki wazan, siswa cukup hanya menghafal wazan dan kata/ isim lainnya dapat di qiyaskan kepada wazan tersebut. Misalnya wazan isim alat adalah mif’alun/ mif’alatun maka ketika kita siswa menemukan miftahun berarti akan diketahui maknannya yaitu alat untuk membuka atau kunci. Miknasatun alat untuk menyapu/ sapu dan sebagainya.
 Dan yang patut ditekankan adalah tidak semua kaidah sharaf layak untuk diajarkan secara terperinci kepada siswa non arab. Oleh kerena itu pengajar ilmu sharaf/ guru bahasa Arab seharusnya membatasi betul materi kaidah sharaf yang layak untuk disampaikan kepada siswa, sehingga kaidah sharaf yang tadinya dirasa susah akan terasa mudah.
Berkaitan dengan problematika sebelumnya perlu diketahui bahwa segi-segi sharaf (Morfologi) dalam bahasa arab yang tidak terdapat dalam bahasa indonesia, semisal konjungsi (tashrif) sistem perubahan dengan pola-pola tertentu yang menimbulkan makna tertentu. Perubahan dari satu pola ke pola lain memiliki akar kata yang sama.
        Dapat dicontohkan disini, misalnya fiil madhi (kata kerja bentuk lampau) untuk jenis laki-laki seorang(mudzakkar mufrod) فتح yang artinya “Membuka” memiliki perubahan antara lain :
-   Fiil mudhari (kata kerja sedang atau akan) = يفتح  :yaftahu
-   Fiil Amr (kata kerja perintah) = افتح : Iftah
-   Isim Mashdar (kata kerja yang dibendakan)= فتح :Fath
-   Isim Fail (kata benda bermakna pelaku) = فاتح : Faatih
-   Isim Maf`ul (kata benda bermakna yang dikerjakan atau dikenal pekerjaan) = مفتوح : maftuh
-   Isim Alah (kata benda bermakna alat)= مفتح: Miftah



BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1.      Problematika bunyi dalam pendidikan bahasa Arab disebabkan perbedaan pada bunyi pada bahasa Indonesia dan bunyi pada bahasa Arab. Berikut problem dalam bunyi bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia:
a.    Konsonan
b.    Madd
c.    Stressing
d.   Intonasi
2.      Qawaid sharfiyah dalam bahasa Arab memang dianggap rumit oleh kebanyakan pembelajar bahasa Arab non Arab, karena dalam pola pembentukan kata yang sangat fleksibel, baik melalui derivasi (تصريف استـقاقى ) maupun dengan cara infleksi (تصريف إعرابـى ). Dengan melalui dua cara pembentukan kata ini, bahasa Arab menjadi sangat kaya sekali dengan kosakata. Itulah yang menjadi problem qawaid sharfiyah dalam pendidikan bahasa Arab.
3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kekurangan ataupun kesalaan didalamnya, Kami mohon krtik dan sarannya bagi para pembaca umumnya dan dosen pembimbing khususnya. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.



0 komentar:

Posting Komentar